Buku Pelajaran Bikin Siswa Stres



KIM Kepel Pasuruan-Buku-buku pelajaran yang sarat dengan materi yang harus diingat dan dihafalkan akan membuat siswa semakin tertekan. Mereka akan melampiaskan kejenuhan dengan kekerasan. Ini diungkapkan Yoshitaka Tanaka dari JICA, Rabu (1/6).

Di hadapan para guru dan kepala sekolah di Dinas Pendidikan Kab Pasuruan, Rabu (2/6), Yoshitaka mengatakan, model pembelajaran yang menjejali siswa dengan berbagai informasi yang harus diingat dan dihafal itu juga pernah terjadi di Jepang.



“Masa kritis dalam pembelajaran di sekolah itu pernah dialami Jepang pada periode 1965-1976,” ungkapnya saat berceramah mengenai model pembelajaran lesson study (LS).

Dampak pembelajaran yang membuat siswa tertekan, katanya, sangat fatal bagi bangsa Jepang saat itu. “Muncul banyak kasus pelecehan seksual dan vandalisme serta terjadi kekerasan di mana-mana,” tandas pakar dari JICA Project Team ini.

Apa yang diceritakan ahli dari The Japan International Cooperation Agency itu ternyata terjadi di Indonesia sekarang. Siswa, mulai dari TK, SD, SMP, hingga SMA dijejali dengan seabrek buku pelajaran. Bahkan, seorang siswa kelas 1 SD saja, harus membawa dua tas agar semua buku pelajaran dapat terbawa.

Anak usia tujuh tahun, semestinya masih berada pada masa bermain. Namun, orangtua pada gilirannya juga menekan anak untuk mengikuti berbagai les bidang studi agar lulus. Ini semakin membuat anak-anak tertekan.

Belum lagi dengan aturan atau kurikulum yang setiap tahun terus berganti dan berujung bergantinya buku pelajaran dan justru membuat para orang tua semakin terbebani biaya.

“Dari episode yang dialami Jepang itu, kami terus mengembangkan model pembelajaran dengan mengedepankan pendekatan reflektif. Hingga akhirnya disepakati model pembelajaran lesson study (LS) yang dipengaruhi ilmu perilaku. Perilaku guru harus dapat memancing respons anak didik agar dapat memahami pelajaran,” terang Yoshitaka Tanaka yang didampingi seorang penerjemah.

Terkait dengan model pembelajaran LS, pihak Jepang melalui Pelita JICA akhirnya menyampaikan programnya di Indonesia. Di Kab Pasuruan, sejak 2006 sejumlah SMP mulai menerapkan LS. “Saat ini sudah ada 32 sekolah yang menerapkannya,” ujar Anas Suprapto, Kepala MTsN Bangil.

Hasil model pembelajaran LS, kata Anas, bagus, yakni guru lebih profesional dalam mengajar dan siswa juga lebih berani mengeluarkan pendapat, karena lebih bisa memahami pelajaran yang disampaikan guru.

Semakin kompetennya guru dalam mengajar ini bisa dilihat dari penyusunan rencana (plan) program pembelajaran (RPP) yang berpusat pada siswa, bagaimana melaksanakan rencana (do), dan juga merefleksikan (see) apa yang sudah direncanakan.

“Dari seluruh guru di sekolah negeri dan berstatus PNS, hanya 15 persen yang tidak membuat RPP. Sedangkan guru di sekolah swasta yang tidak membuat RPP mencapai 85 persen, padahal RPP ini penting untuk perkembangan belajar siswa. Makanya saya sepakat jika seluruh lembaga pendidikan menerapkan model LS, karena akan berpengaruh besar pada dunia pendidikan,” ujar M Tahak, pengawas sekolah yang sebelumnya menjabat Kepala SMPN 2 Grati. kur

source: http://www.surya.co.id

Post a Comment

0 Comments